Visi dan Misi Sekolah
“Cageur, Bageur, Bener, Singer, Pinter”
Sebagai masyarakat Sunda asli, saya mengenal betul istilah “cageur”, “bageur”, “bener”, “singer”, “pinter”, yang dalam Bahasa Indonesia secara berurutan memiliki arti “sehat”, “baik”, “benar”, “mawas diri”, “pandai/cerdas”. Lima kata sifat tersebut, dari yang pernah diceritakan oleh guru SD saya, ialah karakter utama bangsa Sunda. Diceritakan oleh beliau bahwa masyarakat Sunda ialah teladan utama bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Kata “sunda” sendiri, dalam bahasa Jawa Kuno, memiliki pengertian bersih, suci, murbi, tak tercela/bernoda, air, tumpukan, pangkat, waspada. Makna kata Sunda itu tidak hanya ditampilkan dalam penampilan, tapi juga didalami dalam hati. Itulah sebabnya orang Sunda yang ‘nyunda’ perlu memiliki hati yang luhur. Lalu, lima karakter sunda yang mencangkup “cageur”, “bageur”, “bener”, “singer”, “pinter” adalah sebuah perangkat/kesatuan etos dan watak yang dijadikan jalan menuju keutamaan hidup.
“Cageur” atau “sehat” mencerminkan suatu karakter masyarakat sehat secara jasmani maupun rohani, namun istilah “cageur” dalam Sunda memiliki filosofi lebih dalam dari sekedar “sehat”, “cageur” mencerminkan watak masyarakat yang mampu berpikir dan bertindak secara rasional dan proporsional dengan dilandaskan nilai moral.
“Bageur” atau “baik” mencerminkan suatu karakter masyarakat yang memiliki sifat-sifat kemanusiaan, menjunjung akhlak mulia terhadap sesama. Sebagai orang Sunda, saya sangat familiar dengan ungkapan “silih asih”, yang bermakna saling menyayangi, berempati, bertenggang rasa dan simpati.
Pada dasarnya, masyarakat Sunda ialah masyarakat yang paling menjunjung tinggi asas kebersamaan, sifat saling menolong dan gotong royong adalah bagian dari kebiasaan dalam bermasyarakat. Semua berlandaskan atas rasa kasih dan sayang antar sesama yang kemudian menciptakan keharmonisan dalam “rumah tangga” Sunda.
Kemuadian kata “bener” atau “benar” yang mencerminkan karakteristik masyarakat yang senantiasa amanah, tidak berbohong, tidak berkhianat, dan menunjung tinggi integritas yang artinya tiap ucapan harus sesuai dengan tindakan, seperti ungkapan dalam bahasa sunda “ulah cueut ka nu hideung ulah ponteng koneng”, yang berarti harus mengatakan apa adanya, sesuai fakta, tidak ada manipulasi fakta. Ungkapan sunda lainnya ialah “nu lain kudu dilainkeun, nu enya kudu dienyakeun, nu ulah kudu diulahkeun”, yang bermakna bahwa kita tidak boleh melarang sesuatu karena itu benar, dan harus melarang sesuatu karena hal tersebut tidak benar.
Adapun kata “singer” atau “mawas diri” yang mencerminkan pribadi yang senantiasa bertoleransi, senang berkorban/mendahulukan kepentingan orang lain, senang menerima kritikan/masukan dari orang lain terhadap dirinya untuk dijadikan bahan refleksi diri, serta memiliki rasa kasih sayang terhadap sesama.
Terkahir adalah “pinter” atau “pintar” yang mencerminkan masyarakat berilmu yang dengan ilmunya tersebut mampu mengantarkan kepada jalan keberkahan dunia, yang berpangkal pada kemuliaan hidup untuk bekal di akhirat, bukan ilmu yang menjadikan pribadi seseorang sombong dan juga bukan ilmu yang membawa pada kemudaratan.
Di dalam Sunda, seseorang yang pintar ialah mereka yang mampu menyeimbangkan kehidupan yang berorientasi pada dunia dan akhirat seperti istilah dalam islam yaitu “tawazzun”.
Kepemimpinan dan Karakter Sunda
Krisis jiwa kepemimpinan di Indonesia yang perlahan semakin menjamur disebabkan oleh kurangnya pendidikan karakter terhadap masyarakat yang seharusnya dipupuk sejak fase manusia sudah mampu menyerap setiap hal dari lingkungan sekitarnya yang kemudian perlahan membentuk kepribadiannya. Kesalahan dalam dalam membudidayakan “bibit-bibit” pemimpin Indonesia ini berdampak pada kerusakan negara, terbukti oleh banyaknya fenomena yang hingga kini tak kunjung surut seperti kasus korupsi dengan pelaku dari sektor pemerintahan hingga rakyat kecil, dan banyak fenomena lainnya yang menunjukan ambruknya moral bangsa seakan masyarakat kita tidak memiliki prinsip dan kehilangan identitasnya.
Semua tindakan kriminal yang dilakukan masyarakat kita disebabkan oleh banyak faktor, namun faktor yang peling mendasar ialah karakter, betapa kini banyak masyarakat Indonesia yang tidak berkarakter. Maka perlulah setiap masyrakat memahami urgensi berkarakter, karena jika kita mau bercermin pada sejarah negeri ini, akan kita temukan bermacam role model suatu tatanan masyarakat Indonesia yang mampu mempertahankan kesejahteraan dan kemakmuran negaranya dalam jangka waktu panjang yang ditopang oleh kekuatan karakter.
Apakah model karakter yang ideal untuk bangsa? Telah dijelaskan 5 dasar karakteristik Suku Sunda yang terdiri atas “cageur”, “bageur”, “bener”, “singer”, “pinter”, yang terbukti secara historikal mampu membuat beberapa kerajaan di Jawa Barat mampu mempertahankan stabilitas negaranya dengan baik, karena kekuatan karakter sunda pada saat itu sangatlah kuat dan dengannya mampu mengokohkan peradaban saat itu. Penting bagi kita untuk membawa kembali nilai-nilai kearifan lokal ke zaman sekarang ini, dan nilai-nilai kearifan lokal Suku Sunda merupakan salah satu model yang patut dijadikan nilai pegangan demi “kesembuhan” Negara Indonesia.
Filosofi “silih asah, silih asih, silih asuh” yang dimiliki orang sunda mencerminkan pentingnya untuk saling menyokong satu sama lain dengan landasan kasih sayang dan rasa saling memiliki. Lebih luasnya, dalam filosofi tersebut terkandung makna tentang pentingnya untuk terus mengasah potensi diri dan membantu sesama dalam mengembangkan potensinya. Potensi yang terasah kemudian dibarengi dengan etos kerja sehingga terbentuk hasil kinerja yang maksimal. Dan orang sunda melakukan pekerjaan tersebut bukan sekedar demi kepentingan pribadinya, karena makna “silih” atau “saling” secara tidak langsung merupakan pernyataan bahwa suatu pencapaian yang diperoleh haruslah membawa kebermanfaatan bagi sesama dan mampu menjadi motivasi untuk dapat bersama-sama meraih keberhasilan.
Tak diragukan bahwa konsepsi kepemimpinan yang dibawa oleh kesukuan sunda mampu menegakan kejujuran dan keadilan. Mereka itu dalam kepemimpinannya sudah dibekali filosofis sebagai pembentukan karakter. “konsep kepempinan menurut ayat kearifan Sunda; (1) lain palid ku cikiih, lain datang ku cileuncang, yaitu bahwa pemimpin itu tidak sekonyong-konyong ada di tengah masyarakat, tetapi keberadaanya itu melalui proses dan atas kepercayaan rakyat; (2) landung kandungan laer aisan, yaitu pemimpin harus memiliki jiwa kasih sayang, sebab pemimpin itu harus jadi ibu sekaligus bapak bagi rakyatnya; (3) kudu handap asor; yaitu pemimpin jangan sombong, jangan semena-mena; (4) bentik curuk balas nunjuk capetang balas miwarang, yaitu jadi pemimpin jangan otoriter, jangan main perintah, sebaiknya sama-sama bekerja dengan bawahan; (5) ulah getas harupateun, yaitu jangan emosional jangan cepat mengambil tindakan; (6) kudu dibeuweung diutahkeun, yaitu sebagai pemimpin harus mempertimbangkan masalah atau “kudu asak-asak ngejo bisi tutung tambagana, kudu asak-asak nempo bisi kaduhung jagana” (harus penuh pertimbangan dalam memutuskan perkara atau mengambil keputusan); (7) ngeuyeuk dayeuh ngolah nagara, yaitu pemimpin harus mampu mengelola daerahnya dengan mempotensikan rakyat, dan mampu menjadi abdi Negara yang baik; (8) ulah lali ka purwadaksi, yaitu jadi pemimpin jangan lupa kepada asal-usul, jangan (9) unggah pileumpangan, yaitu berubah sikap jadi sombong setelah jadi priayi.”
Jika kita mampu merevitalisasikan nilai-nilai lama dalam suku Sunda terhadap masyarakat Indonesia, maka terbentuknya sebuah tatanan hidup cemerlang bukanlah hal yang tidak mungkin. Nilai-nilai luhur dan prinsip hidup yang dipegang teguh akan menghasilkan masyarakat yang saling bersinergi untuk membangun bangsa yang kokoh dan sejahtera, sebab dalam sunda sangat ditekankan perihal jalan hidup bagi sesama yang artinya setiap pribadi secara tidak langsung dididik sebagi pemimpin, seperti tercermin dalam ungkapan “kudu landung kandungan kedah laer aisan”, yang dalam bahasa Indonesia artinya hidup harus mengayomi orang lain selain mengoyomi diri sendiri, dalam berbagai paham agama diajarkan bahwa setiap manusia itu khalifah atau pemimpin, maka secara tidak langsung setiap manusia memiliki tanggung jawabnya sebagai pemimpin dalam skala terkecil sekalipun. Maka dengan karakteristik “cageur”, “bageur”, “bener”, “singer”, “pinter”, suatu tatanan negara yang kita impikan mampu terealisasi, karena bagaimanapun suatu sistem kepemimpinan yang baik ialah ketika pemimpim memimpin pemimpin, yang artinya setiap masyarakat memiliki jiwa pemimpin.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa karakter merupakan hal penting dalam hubungannya dengan kepemimpinan dan lebih jauh lagi yakni dengan terbentuknya suatu peradaban yang kuat.